Selamat Datang di Beragam Puisi Cahya Anindita's Blog

Rabu, 30 Desember 2015

Genapi Rindu Setengah-Setengah

Ku punya sepasang sayap, 
ilham dari kotak imaji. 
Berkibas senyap terbang tak begitu tinggi.
Dengar rintih bumi 
perlahan membisik sepi 
pada langit merah menari.

Wajah layu.. 
mengeja waktu. 
Setapak tak tersentuh, 
Luruh di ujung kelabu. 
Membias tanya, terperangkap tepi hati. 

Terlintas pikir, 

Tuhan beri yang salah yang gila hanya sebelah.

Sudahlah.. 
Ku genapkan bait rinduku setengah-setengah

Hai sabit dan gemintang, 
malukah engkau,
hingga hendak mengintip dari balik tirai awan malam nanti? 

Aku tak mungkin menunggu hujan mereda 

dari senja 
hingga larut 
tapi,
bergembira dan menari 
dalam hujan jika itu harus. 

Ku tetap punya harap

meski terselip
jauh di ceruk hati...

Sabtu, 26 Desember 2015

Jingga

Tak ubahnya jingga membalut senja,
Lengah perjalananku, berteman sorot rembulan
dan beberapa lampu perkotaan meredup,
dingin menghujam tulang

Lengkung tipis bibirmu,
perlahan menggaris,
seiring ditinggalnya langit,
oleh jingga mempesona jiwa,

Satu per satu, puisiku terbang

hinggap di lembah gersang,
berharap hujan,
singgah sebentar,
tuk cairkan baitku yang usang

Rinduku Saat Pagi

Sebuah pagi di kota yang berbeda,
dengan kisah hati tak sama,
Kau sibuk mengasah keangkuhan,
aku disini, mengeja kerinduan.

Pagi ini sedikit lembab,

embun, genang air terlihat akrab,
sedih dan sisa tangis terdengar kerap.

Bahkan,

hingga habis malam,
berganti mentari,
tak sedikitpun bayangmu datang,

Ku kemasi saja rindu ini,

ku simpan dalam tumpukan mimpi.

Saatnya merehatkan jemari,

melipat rindu, menggelar sendu di hati

Airmata....

berpuisilah di dadaku,
apapun itu,
asalkan bukan kesedihan...

Jumat, 25 Desember 2015

Bahagia : Rindu Rembulan

Malam senja, pergi menghilang
merubah menjadi malam menghitam,
dingin berselimut temani kita belajar,
melatih jemari,
menggores tinta di atas lembaran.

Rinduku mengangkasa entah kemana,
mencari temu di sela senja,

Di balik pejammu nanti,
belajarlah dan bercanda bersama rembulan,
terbanglah ke langit malam ini,
jemput satu bintang paling terang
biarkan cahyanya buatmu bersinar
yang menyinggahkan keteduhan
di dada kiriku,

Duhai angin..
terbangkan aku kesana..

Janji Lenyap!

Janjimu lenyap, termakan rayap,
Tepuk tangan telah sirna.
Penghargaan beralih,
mata hati telah mati,
penuh arogansi,
terhunus ambisi,
obsesi,
di balik ikrar yang teringkar.

Rasa ini..
tak terjabar lewat rumus logaritma,
tak terlukis lewat spektra warna,
apapun di dunia.

Terkadang dunia tak butuh jawaban,
biar tetap menjadi sesuatu yang idiopatik,
embun tak perlu berwarna biar daun jatuh cinta,
Selamat menjadi anjing,
di atas pemikiran orang lain!

Kamis, 24 Desember 2015

Dialogmu, Skenario Kita

Dialogmu tersusun rapi, 
lalu kau ucapkan untukku
sesuai sistematika yang ada

Aku pun berdialog rapi,
yang tertulis manis,
di atas lembaran cerita yang dibuat,

Kita...

berdialog sesuai skenario cinta,
yang dikukuhkan di atas penokohan kita.
Mengisahkan dua insang yang dimabuk cinta.

Penuh instrik...
Memancing emosi...
Terobsesi...

Figuran-figuran tercipta, 
demi memegahkan cerita fiksi kita
Dialog-dialog mesra,
terus terukir mengisahkan asmara...

Kidung Agung, di Pintu Mempelai Perempuan

Dengarlah! Kekasihku!
Lihatlah! ia datang,
melompat-lompat di atas gunung-gunung,
meloncat-loncat di atas bukit-bukit.

Kekasihku serupa kijang, atau anak rusa
Ia berdiri di balik dinding kita
menengok tingkap-tingkap,
melihat dari kisi-kisi.

Bangunlah!
Musim dingin telah lewat, hujan sudah lalu
Di ladang bunga merekah,
tiba saat musim pangkas
bunyi terkukur terdengar di tanah kita.

Bangunlah!
Merpatiku di celah-celah batu,
di persembunyian lereng gunung.

Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia...
menggembala domba di tengah bunga bakung,
sebelum angin senja berhembus,
dan bayangan menghilang,

kembalilah! berlakulah seperti kijang
di atas gunung tanaman rempah
perlihatkan wajahmu,
perdengarkan suaramu,
dan elok wajahmu...

Rabu, 23 Desember 2015

Syukur Kepada Pagi

Bagiku waktu selalu pagi,
kala airmata bermunajat,
diantara potongan dua puluh empat jam sehari.

Waktu paling indah,
dimana terngiang menyapa
dan ku balut gigil doa,
diringi kemasan airmata.

Ketika janji-janji baru muncul,
seiring embun menggelayut di ujung daun.

Ketika harapan-harapan baru merekah,
bersama kabut yang mengambang di persawahan
hingga kaki pegunungan.

Pagi...
berarti suatu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi,

Pagi...
berarti satu malam,
dengan mimpi-mimpi menyesakkan,
terlewat lagi...

Burung Durjana

Hanya burung tak bertuan,
Terbang diantara langit kuncup,
menjera hidup.

Mencari nafkah dari kisah terajut.

Rumah murung,
tidur tak mengenal lena,
menyekang mata,
mengingat bahagia
yang ku jemput...

Rapuh...

Mawar yang ku rindu tersiram hujan meramu. 
Setangkai keindahan menggebu, 
merekah merah merunduk malu. 

Lalu...
menyelipkan cahaya ke hati yang terlelap kaku.
Tak mengapa wajahku layu, 
diam mengeja waktu...

Bukan tentang badai yang datang atau bahagia melayang.. 
Hanya saja lelah berjuang,

Rapuh..
lantas luruh bersama dedaunan jatuh.. 
Terus saja menggebu, 
bertanya-tanya menderu hingga hilang ragu...

Selasa, 15 Desember 2015

Tolong Tuan

Di tepian tilam ini tak ku temukan apa-apa, 
Tangisan dan munajat,
menggema dalam kalbu 
dan ku tempuh jalan yang berdebu

Senja mengintip di celah rerumputan, 
embun berlari bergegas pulang. 
Sebuah cerita menguap diantara senyuman. 

Tuan....
tolong beri aku waktu untuk mengeja kesendirian,
saat langit menjatuhkan hujan gemercik di teras belakang.

Aku bersimpuh melukis hidup,
dalam bait keindahan. 
Embun mengepul menjelma pelukan. 

Maaf, 
jika aku terlalu gebu, 
Aku hanya bercengkrama,
memutar senyum, 
di lingkaran pepohonan
dan langit berlapang dada untuk memelukku...